MEMPROKLAMIRKAN negara adalah gampang! Tetapi menyusun,
mempertahankan dan memiliki negara buat selama-lamanya, adalah sukar.
Hanya rakyat yang ulet, yang tidak bosanan, tabah dan jantan dapat
bernegara kekal dan abadi. Siapa ingin memiliki mutiara, harus ulet
menahan napas dan berani terjun menyelami samudera yang
sedalam-dalamnya. (Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1946 di Yogyakarta, ''Sekali Merdeka
Tetap Merdeka!'').
''Pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta, Rabu (7/11) lalu, membuatku tertarik menggebur kumpulan pidato
Presiden I Republik Indonesia itu, khususnya saat pemerintah mengungsi
ke Yogyakarta. Di awal pidatonya, Soekarno yang lebih akrab dipanggil
Bung Karno masih sulit membayangkan nasib negara yang diproklamasikannya
bersama Hatta. Namun, proklamasi diyakininya sebagai seruan 'berhenti'
buat penjajah untuk menindas rakyat Indonesia selama ratusan tahun dan
mengeruk kekayaan pertiwi ini. Dia paham kalau penjajah yang sedang
keenakan menikmati hasil jajahannya, sulit mengerti keinginan kaum
terjajah untuk merdeka, meski jutaan jiwa telah melayang. Tetapi asal
persatuan nasional dan kesadaran berbangsa serta bernegara tetap
bersarang di dada seluruh rakyat Indonesia, Bung Karno yakin republik
tidak akan tenggelam, tetap kekal dan abadi,'' ulas Rubag.
''Ya, pantas saja Bung Karno agak bingung, sebab saat proklamasi
didengungkan, kolonialisme dan imperialisme sedang dalam zaman keemasan.
Banyak negeri jajahan yang berusaha merdeka hanya berusia seumur
jagung, karena bekas penjajah dan para sekutunya berusaha dengan
berbagai cara untuk merobohkannya. Contohnya, republik ini kan? Setelah
proklamasi kemerdekaan, South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan
Lord Mountbatten, menugaskan Allied Forces Netherlands East Indies
(AFNEI) yang dipimpin Jenderal Inggris, Sir Philip Christison, ke
Jakarta, 29 September 1945. Dalihnya melucuti senjata serdadu Jepang.
Namun sebenarnya, pihak Sekutu tidak mengakui keberadaan RI, kecuali
Hindia Belanda, sehingga dalam AFNEI mendompleng pula pasukan
Netherlands Indies Civil Administration alias NICA. Demikian pula di
Surabaya mendarat pasukan AFNEI di bawah Brigjen Mallaby yang juga
didomplengi NICA, 25 Oktober 1945,'' tambah Jayadi.
''Arek-arek Surabaya yang tahu muslihat Belanda, minta agar AFNEI yang
membonceng NICA, menghubungi pihak republik sebagai tuan rumah. Karena
tidak dihiraukan, maka meletuslah pertempuran awal antara pasukan
Inggris dan rakyat Surabaya, 27-29 Oktober 1945. Mallaby hanya sempat
menginjak tanah Surabaya selama enam hari, sebab pada 31 Oktober dia
terbunuh. Mayjen. Mansergh, panglima tentara pendudukan Sekutu untuk
Jawa Timur memberi ultimatum agar sebelum 10 November, semua masyarakat
menyerahkan senjatanya ke pos-pos Inggris dengan mengangkat kedua
tangan.
Bila tidak diindahkan, maka Inggris dengan kekuatan darat, laut, dan udaranya akan menggempur Kota Surabaya. Ultimatum yang merendahkan martabat itu, bukan menciutkan nyali masyarakat, justru membakar semangat arek-arek Surabaya. Pertempuran tak seimbang dari sudut persenjataan membuat Surabaya banjir darah. Ketahanan, semangat, dan keberanian rakyat Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan sungguh mengagumkan, sehingga 10 November dinyatakan sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran hebat ini pula membuka mata dunia, khususnya serdadu Sekutu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia itu benar-benar ada atau eksis, sedangkan Negara Hindia Belanda sudah kedaluwarsa!'' komentar Ardita.
Bila tidak diindahkan, maka Inggris dengan kekuatan darat, laut, dan udaranya akan menggempur Kota Surabaya. Ultimatum yang merendahkan martabat itu, bukan menciutkan nyali masyarakat, justru membakar semangat arek-arek Surabaya. Pertempuran tak seimbang dari sudut persenjataan membuat Surabaya banjir darah. Ketahanan, semangat, dan keberanian rakyat Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan sungguh mengagumkan, sehingga 10 November dinyatakan sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran hebat ini pula membuka mata dunia, khususnya serdadu Sekutu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia itu benar-benar ada atau eksis, sedangkan Negara Hindia Belanda sudah kedaluwarsa!'' komentar Ardita.
''Benar, dulu para pejuang berperang mengusir penjajah, tidak memikirkan
suku, agama, ras, dan golongan, kendati jiwa sebagai taruhannya! Mereka
merasa sebangsa, setanah-air, senasib dan sepenanggungan, sama-sama
bertekad melenyapkan kolonialisme dan imperialisme dari persada ini. I
Gusti Ngurah Rai, pemimpin pasukan Ciung Wanara, sebelum melakukan
Puputan Margarana, 20 November 1946, mengirim surat pada Overste
(Letkol) Termeullen, pimpinan NICA di Bali. Sebenarnya, itu surat
jawaban atas surat ajakan untuk berdamai dan berkompromi, yang secara
tegas ditolaknya. Bali, tulis Ngurah Rai, bukan tempat kompromi atau
berdamai, karena hal itu urusan pemerintah pusat di Jawa. Kalau Belanda
masih bercokol di Bali, lanjutnya, membuat ketenteraman masyarakat Bali
terancam, maka Ngurah Rai siap menjadikan Bali sebagai belanga
pertumpahan darah. Pernyataannya itu dibuktikan dengan puputan atau
perang sampai titik darah penghabisan di kawasan kebun jagung Margarana,
Tabanan, di mana Ngurah Rai bersama puluhan anak buahnya gugur sebagai
kusuma bangsa,'' tutur Purwacita.
''Bila saja pengorbanan jiwa, harta serta tetesan air mata dalam merebut
dan mempertahankan kemerdekaan dipahami seluruh generasi sekarang,
tentu gontok-gontokkan dan saling cabik antarsesama anak bangsa seperti
terjadi belakangan ini, tidak akan terjadi. Memang upaya untuk
menggagalkan kemerdekaan RI sudah dimulai sejak pendaratan NICA
mendompleng pasukan AFNEI itu. Kemudian pusat pemerintahan Indonesia
diungsikan ke Yogyakarta dan itu pun diserang dua kali aksi polisional
Belanda. Setelah upaya diplomasi lewat Persetujuan Linggarjati dan
Renville gagal, Konferensi Meja Bundar yang berlangsung di Den Haag
selama dua bulan tahun 1949, berhasil memaksa Belanda mengembalikan
kedaulatan pada NKRI, karena gagasan Republik Indonesia Serikat dari van
Mook gagal. Setelah itu pada tahun 1950-an kembali terjadi
pemberontakan bersenjata nyaris di seluruh wilayah Indonesia akibat
provokasi dan campur tangan anasir-anasir asing,'' papar Rimanta.
''Ya, kalau membaca 'Subversi sebagai politik luar negeri' tulisan
Audrey R. Kahin dan George Mc T. Kahin, juga karya Paul F. Gardner
berjudul '50 Tahun Amerika Serikat - Indonesia', peran Central
Intelligence Agency (CIA) sejak pemerintahan Eisenhower sangat jelas
dipaparkan. Military Intelligency (MI) 6 dari Inggris ikut di
belakangnya. Indonesia dijadikan rebutan dalam Perang Dingin antara Blok
Barat di bawah Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah Uni Soviet.
Komitet Gosudarstvenoi Bezopasnosti disingkat KGB, agen rahasia Soviet
juga aktif bermain. Puncak dari permainan itu adalah meletusnya
pemberontakan G-30-S 1965 yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Peter Dale Scott dalam buku 'CIA dan Penggulingan Soekarno'
menyebut G-30-S tersebut sebagai kudeta yang sengaja dirancang gagal.
Akibat dari peristiwa yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira
menengah Angkatan Darat, yang kemudian diberi gelar 'Tujuh Pahlawan
Revolusi', Soekarno juga dilengserkan karena menolak membubarkan PKI.
Suar Suroso menulis 'Bung Karno Korban Perang Dingin','' imbuh Westa.
''Persis! Setelah Perang Dingin usai dengan rontoknya Tembok Berlin 1989
dan bubarnya Uni Soviet tahun 1991, rencana besar untuk membawa seluruh
bangsa dan negara ke bawah satu atap dalam tatanan dunia baru agaknya
sedang diupayakan. Resistensi terhadap skenario dan desain akbar itu
dihadapi dengan hegemoni budaya lewat teknologi sibernetika, terutama
internet dan televisi. Masyarakat didoktrin soal gaya hidup, dijadikan
masyarakat hiburan dan kerumunan. Terkadang sambil berjingkrak menari
dalam konser, karena saling senggol lalu terlibat tawuran massal.
Suporter sepak bola juga saling lempar dan baku pentung hingga ke jalan,
meski mereka berasal dari satu wilayah seperti Persita dan Persikota.
Bentrokan horizontal antara desa, dusun, dan kecamatan dengan berbagai
sebab kian marak terjadi akhir-akhir ini. Agaknya Bung Karno di akhirat
tidak begitu bergembira menerima gelar Pahlawan Nasional, karena melihat
kondisi bangsa yang pernah diproklamasikan kemerdekaannya, seperti lupa
sejarah. Persatuan nasional dan kesadaran berbangsa serta bernegara
rupanya telah raib dari dada sebagian warga bangsa ini. Mudah-mudahan
dugaanku salah!'' kata Karsana
0 komentar:
Posting Komentar